Senin, 07 Maret 2016

“Ogoh ogoh

I.                    Pengantar
Di hampir perayaan hari Raya Nyepi yang juga pergantian tahun Caka, di Bali diadakan pawai ogoh-ogoh yang sedemikian meriah. Diantara kemeriahan ini kental terasa diadakan sebagai upacara Agama Hindu-Bali, karena cuma penganut agama Hindu yang ada  di/ dari Bali lah yang mengadakan ritual; mengarak Ogoh-ogoh ini.
Pelaksanaan yang diadakan setahun sekali di sekitar bulan Maret (Masehi) tentu juga harus dibarengi segala pengetahuan dan latar belakang / asal-usul hingga upacara ini dilaksanakan agar semakin hari, semakin tahun – hingga bergenerasi-generasi kedepannya perayaan ini bukan cuma mewariskan kemeriahan mengarak dan membakar Ogoh-ogoh di Bali – atau dimana pun Ogoh-ogoh ini di percaya sebagai pengusir roh jahat atau energi negatif.
II.                  Sejarah;
a.       Hikayat dan Kepercayaan seputar Ogoh-ogoh
Entah jelasnya sejak kapan Ogoh-ogoh mulai menjadi bagian dalam upacara menjelang hari raya Nyepi, ada yang mengklaim ogoh-ogoh mulai diarak keliling desa sejak tahun 1983, namun banyak yang percaya bahwa budaya mengarak dan membakar ogoh-ogoh sudah ada sejak dahulu kala.
Ilustrasi #1: Dayu Biang Dirah yang dibakar massa
b.      Simbolisasi Bhutakala dalam adat Hindu-Bali
Seperti banyak juga dijumpai di wilayah lain di Nusantara, energi negatif disimbolkan dengan bentuk-bentuk sosok raksasa bergigi panjang dan runcing
Ilustrasi #2: Gambar-gambar Bhutakala dari patung, relief, gambar atau lukisan tradisional Bali

III.                Penggunaan
a.       Upacara Tawur Agung Kesanga, dalam menyambut tahun baru Caka atau Hari Raya Nyepi yang dilaksanakan setiap tahun, setiap Tilem IX (Kesanga) atau bulan mati sekitar bulan Maret. Peringatan Nyepi ini tidak dilaksanakan berdasarkan Pawukon melainkan berdasarkan sasih (bulan).
b.      Urutan Upacara untuk menyambut pergantian tahun Caka;
a.        Mekiyis atau Melasti, dilaksanakan sehari sebelum Hari Nyepi
Adalah upacara yang bertujuan mensucikan benda-benda pusaka (prelingga) yang disimpan di tempat-tempat peribadatan. Prelingga prelingga ini dibawa ke pinggir laut atau ke pinggiran danau atau ke sebuah mata air suci untuk dihadapkan ke Bhatara Baruna, yaitu manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam meleburkan dosa, malapetaka dan bencana, untuk disucikan.

Ilustrasi #3: Gambar orang-orang sedang upacara Mekiyis ke pantai 
b.      Mecaru (Bhuta Yadnya)
Adalah upacara pembersihan di lingkungan rumah atau di lingkungan desa, biasanya dengan menarikan topeng Rangda dan Barong keramat disetiap persimpangan jalan, simbolisasi dengan Mecaru di empat penjuru arah (CaturPastha)/
Upacara ini merupakan simbolisasi untuk memberi makanan kepada Bhutakala agar tidak mengganggu manusia dan lingkungannya.
Ilustrasi#4: Menarikan Rangda dan Barong di setiap persimpangan jalan utama disetiap desa

c.       Pengerupuk atau Mebuwu-buwu
Adalah semacam upacara untuk mengusir Bhutakala, biasanya dirumah-rumah dan dilingkungan membunyikan tetabuhan yang memekakan telinga (Bleganjur) dan menyalakan obor atau membuat asap dengan membakar sambut kelapa.
Pada waktu inilah Ogoh-ogoh yang dibuat untuk menyimbolkan Bhutakala di arak keliling banjar atau lingkungan setempat sambil ditarikan oleh para pemuda (sekehe teruna) banjar di setiap persimpangan jalan.
Ilustrasi #5: Para Pemuda mengangkat dan menarikan Ogoh-ogoh

Kemudian setelah berkeliling menarikan di empat penjuru banjar, Ogoh-ogoh ini dibawa ke Setra (kuburan atau tempat pengabenan)  atau Pantai untuk di Pralina – dibakar hingga jadi abu.

Ilustrasi #6: Ogoh-ogoh dibakar ditengah setra, dikerumuni warga

d.      Nyepi
Nyepi berarti diam, sepi – tidak melakukan kegiatan apa pun. Ini dilaksakan sejak matahari terbit hingga terbit matahari lagi di keesokan harinya.


IV.                Pembuatan Ogoh-ogoh
a.       Tahap Perencanaan
a.1. Konsep atau thema untuk menentukan bentuk ogoh-ogoh yang akan dibuat
                Ilustrasi #7: Sketsa ogoh-ogoh yang akan dibuat
Ilustrasi #8: Sketsa desain wajah ogoh-ogoh
                Ilustrasi #9: Sketsa desain posisi dan gerak ogoh-ogoh
a.2. Teknik yang akan digunakan berkaitan dengan bentuk dan bahan yang akan dipakai.
Ilustrasi #10: Bentuk sambungan kayu dalam kerangka yang menyerupai susunan tulang manusia atau hewan untuk menyesuaikan gerak yang akan dibuat
                Ilustrasi #11: Bentuk sambungan bambu dalam kerangka ogoh-ogoh
               
a.3. Perencanaan pembiayaan

b.      Tahap persiapan
b.1. Menentukan lokasi pembuatan ( dan sesajen yang diperlukan)
b.2. Persiapan bahan-bahan.
c.       Tahap Pelaksanaan
c.1. Pembuatan Kerangka Dasar Ogoh-ogoh
Tidak sedikit kelompok pemuda yang bias membuat konstruksi yang kuat sebagai pembentuk utama Ogoh-ogoh yang akan dibuat. Kerangka dasar ini dibuat untuk menempatkan kerangka bentuk Ogoh-ogoh . Kerangka ini kelak pun akan jadi pengikat ‘Saanan’ atau bamboo-bambu yang menjadi pegangan para pemikul Ogoh-ogoh.

c.2. Pembuatan Kerangka Bentuk
Kerangka Ogoh-ogoh dibuat setelah Kerangka dasar dibuat, agar Ogoh-ogoh sejak dibuat sudah dalam posisi sesuai dengan bentuk yang telah direncanakan atau digambar diatas kertas
c.3. Menutup dengan anyaman bambu; untuk membuat bentuk-bentuk detail yang diinginkan
Anyaman bambu yang sudah dibuat tipis seperti bahan membuat bedeg atau bilik anyaman bambu. Anyaman bambu yang mengandung kulit bambu mempunyai kekuatan yang lebih baik dibanding bambu yang tidak mengandung kulitnya – isinya.
Anyaman bambu dibuat sesuai struktur anatomi mahluk yang akan dibuat, dan setiap anyamannya dianyam dengan baik agar berfungsi sebagai pengikat struktur atau kerangka bentuk Ogoh-ogoh.
c.4. Membuat Kulit Ogoh-ogoh

Setelah anyaman bambu rapat dan bentuk ogoh-ogoh sudah nampak , kerangka ini biasanya ditutup dengan sobekan-sobekan kertas Koran yang diberi lem aci. Seperti juga dalam menganyam bambu  sobekan-sobekan Koran yang ditempel hendaknya dibuat saling melintang hingga sekaligus dapat berfungsi sebagai pengikat setiap bentuk yang sudah dibuat.
Setelah tempelan kertas Koran atau kertas semen memenuhi seluruh permukaan wujud ogoh-ogoh hingga -/+ 5 lapisan barulah permukaannya diwarnai dengan cat dasar.
c.5. Membuat hiasan Ogoh-ogoh

Selain mewarnai kulit Ogoh-ogoh yang sudah berbentuk mahluk jahat dengan warna yang sesuai, tahap selanjutnya adalah membuat kelengkapan dan asesorisnya. Seperti rambut yang dibuat dari serat-serat karung goni yang dibongkar dan ditata ulang atau dari rambut ijuk, dll. – kreatifitas bisa dikembangkan masing-masing.
V. Beragam kreatifitas dalam pembuatan Ogoh-ogoh

                Keleluasaan dalam menentukan bentuk manifestasi Bhutakala divisualisasikan/ diwujudkan dalam bentuk segala mahluk jahat, atau yang membawa energi negative, mulai wujud raksasa; mahluk-mahluk berwujud tinggi besar, bergigi runcing, berkuku panjang dengan segala pose hingga wujud-wujud fantasi kadang dibuat oleh para pemuda di setiap banjar. Sedemikian luasnya fantasi setiap kreatornya hingga kadang tampil raksasa-raksasa dalam wujud yang lucu sesuai jaman dan lingkungannya.



Selasa, 04 Oktober 2011

Penggusuran Alun-alun Desa

Sore itu kami melihat proses pembongkaran alun-alun desa, bongkah demi bongkah tanah yang kering dilanda kemarau yang panjang ini diangkat sedikit demi sedikit.
Hadirnya alun-alun disini selalu menjadi bagian besar dari perjalanan desa Penyaringan. Dan saat ini para penduduk desa hanya bisa melihat dengan miris dan dengan kemarahan yang tertahan.
Berganti Kepala Desa sebelum Kepala Desa yang sekarang, alun-alun ini selalu berubah menjadi semakin cantik, mulai dari ukuran yang semakin ideal untuk lapangan sepakbola - lengkap dengan gawang besi dan lintasan atletiknya, hingga perataan dan penghijauannya.
"Kami tidak menerima pemberitahuan samasekali", demikian timpal rekan yang tinggal disebelah Timur Alun-alun, "Kami percaya para pimpinan Desa sudah mempunyai gambaran yang baik untuk masa depan desa dan masyarakatnya "

Rencana pembangunan SMU Negeri memang sangat menggembirakan masyarakat yang bermasalah dengan transportasi untuk bersekolah keluar desa. Sehingga kebijakan untuk membangun desa merupakan angin segar bagi masyarakat yang punya anak-anak yang hendak mengenyam tingkat SMU, apalagi di desa kami bisa bersekolah hingga tingkat SMU masih dianggap sangat luar biasa.

Perbekel (Kepala Desa) kami saat ini sangat cepat membaca peluang, ketika dari kecamatan melempar tawaran untuk proyek ini ke beberapa desa, serta merta Perbekel kami menerima dan menyanggupi untuk menyediakan lahan cepat, ya itu tadi, tempatnya di alun-alun desa. Ketika dua desa pesaingnya berpikir panjang untuk pembebasan lahan - karena desa lain sama sekali tidak terlintas pikiran untuk melepas alun-alunnya.


Lahan yang sudah rata dan keras - karena sudah dibangun sejak beberapa periode Perbekel seniornya merupakan lahan yang sudah siap dibongkar untuk sebuah proyek besar... tentu saja, karena peruntukannya sebenarnya memang untuk alun-alun, namun dengan 'kacamata' yang berbeda; lahan ini adalah lahan ideal untuk menerima proyek besar dari pusat.



Sama sekali masyarakat tidak menentang maksud dibangunnya SMU Negeri di Penyaringan, tapi masalah alun-alun yg sudah merupakan bagian dari desa dan merupakan asset yg sudah diperjuangkan sejak 44 tahun yang lalu ini tiba-tiba harus hilang sementara lahan lain selain alun-alun sebenarnya masih banyak yang bisa dialih fungsikan sebagai SMU Negeri. 


Entah pikiran apa yang ada di kepala Perbekel yang dibesarkan dan mencari nafkah sepanjang hidupnya diluar desa Penyaringan ini, baginya alun-alun desa ini tentunya adalah peluang besar untuk melengkapi fasilitas pendidikan di daerahnya, baginya ini adalah kesempatan untuk memperoleh simpati dari masyarakat yang belum mengenalnya, memberi peluang lapangan pekerjaan, kalaupun dia tidak berpikir untuk meraup keuntungan semacam komisi proyek. Baginya ini adalah kesempatan baik untuk berbuat sesuatu kepada desanya sebelum... eh, dalam mengisi masa pensiunnya.

Demikianlah kecepatan berfikir yang melihat dari 'kacamata' yang lain, tanpa melihat nilai historis, tanpa mendengar pendapat masyarakat sekitar - akhirnya proyek itu berjalan dengan deadline yang pendek, dalam dua bulan kedepan harus sudah bisa menjalankan kegiatan belajar-mengajar, dan masyarakat harus segera kehilangan alun-alunnya. Pengorbanan kembali harus dilakukan setelah pengorbanan-pengorbanan sebelumnya demi memiliki alun-alun kebanggaan desa Penyaringan.






Minggu, 17 Juli 2011

Jor Menjor Penjor

Bila kita sempat jalan-jalan ke Pulau Bali di dua minggu ini kita akan menyaksikan lautan penjor diseluruh Bali, karena masyarakat Bali yang merayakan hari raya Galungan dan - sepuluh hari kemudian - merayakan hari raya Kuningan meramaikan depan rumah mereka masing-masing dengan sebuah penjor. Untuk memperingati hari kemenangan Dharma atas Adharma.

Nunjuk Penjor, kelengkapan meriahnya hari raya di Bali.
Penjor yang kita kenal memang berasal dari Bali, hiasan sebatang bambu yang melengkung hingga kepucuk berhias janur dan aneka pernak-pernik makanan dan hasil bumi ini sekarang kita kenal untuk hiasan upacara pernikahan di Jawa dan daerah-daerah lainnya, penjor-penjor ini juga dikenal untuk hiasan beragam acara keriaan. Dan - khususnya di Bali, hingga dua minggu kedepan (Buncal Balung; Anggara Kasih), kita akan melihat seluruh jalanan di pulau Bali masih meriah berhias jutaan penjor yang beraneka ragam bentuk, hiasan dan penuh warna.
Penjor-penjor ini mulai dibuat sehari sebelum Galungan (Penampahan Galungan) setelah masyarakat masak makanan2 khas Bali dirumah masing-masing, biasanya kaum lelaki mulai mengeluarkan sebatang bambu dan mulai memasang semua payasan (perhiasan) untuk memperindah penjornya. Masing-masing saling membuat penjor yang indah, melengkung seperti ikuh barong (ekor barong), memasangi gelang-gelang janur (daun kelapa yang masih muda), gantungan padi, buah-buahan; umbi-umbian, kelapa, kue-kue, begine, jaje uli dan diujung pucuk bambu digantungi sampian (hiasan janur yang menggantung) - terakhir di pangkal penjor dipasangi tempat sesaji/ banten berupa sanggah cucuk yang dibuat dari anyaman bilah-bilah bambu - disebut sanggah Ardha Candra.
Tidak seperti di Denpasar terutama didaerah Kapal, Krobokan, Seminyak yang menghiasi penjor dengan hiasan yang berlebih-lebihan - yang konon hingga menghabiskan biaya hingga jutaan, di Desa Penyaringan penjor yang dipajang nyaris sangat seadanya, umumnya hanya bambu yang diberi gelang-gelang janur seadanya, gantungan palawija dan kue-kue seadanya, dan sampian yang hampir standar bentuknya.
Desa Penyaringan yang banyak mempunyai pohon-pohon kelapa penghasil janur justru seperti kekurangan janur - mungkin sebagian besar janurnya sudah dijual ke Denpasar dan kota-kota lainnya di pulau Bali, sehingga hiasannya sangat minimalis, bahkan nampak dibuat sangat terburu-buru - untuk sekedar melengkapi syarat upacara, kalaupun ada yang nampak lengkap, biasanya si empunya penjor sempat membeli hiasan penjor yang sudah jadi dari desa Kapal (di Denpasar Barat).

Tidak semua penjor dihiasi berlebih-lebihan, dan tidak semua penjor juga yang berhiasan seadanya. Ini tergantung dari kesiapan setiap keluarga, keluarga yang berdarah seni akan membuat penjor yang indah, keluarga yang banyak anak lelaki akan lebih siap menunjuk (mendirikan) penjor dengan cepat, keluarga yang kaya akan memesan penjor hingga terpasang di tempat, keluarga yang tidak punya anak lelaki penjornya dibuatkan sang ayah, karena sang ibu menyiapkan sampian, maka menghias bambu adalah tanggungjawab sang ayah atau anak lelaki, maka bila kita lihat semua penjor ini bentuknya akan semakin beragam - dalam satu hari menjelang hari raya galungan semua keluarga memulai kesibukan berhari raya dengan berkreasi dan mendirikan penjornya masing-masing.

Kamis, 30 Juni 2011

Nyolahang Ratu Ayu


Ada ritual yang paling dinanti oleh masyarakat Penyaringan, bukan karena nilai spiritualnya, tapi karena hiburannya yang menakutkan. Pertunjukan (upacara) Nyolahang (nyolahan/ mesolah/ ngerauhang) atau memanggil roh penunggu disebuah pura dalem biasanya diadakan setiap enam bulan hanya di pura yang menyimpan topeng rangda didalamnya.
Biasanya upacara ini berbarengan dengan bulan purnama, atau bulan pernama tilem yaitu bulan mati, dimana saat itu sama sekali tidak ada cahaya bulan, langit gelap pekat. Sejak petang menjelang malam satu persatu umat datang untuk menghaturkan bhakti persembahyangan di pura itu, membawa sesajen, berpakaian putih-putih semuanya. Bila kabar 'nyolahan' sudah tersebar, biasanya umat yang datang bisa berdatangan bahkan dari desa-desa yang jauh. Nyolahan atau mesolah sederhananya diartikan sebagai acara menarikan topeng rangda yang dikeramatkan disebuah Desa. Dimana pada saat ini penari dan topengnya diupacarai dan atraksi (menari) dalam keadaan kesurupan atau 'kerauhan' (kerasukan roh).

Uuaahhahahahaaaaaa.... Ratu Ayu malah tertawa, sekali lagi keris ditusukkan... kali ini dengan lebih kuat..

Menjelang tengah malam, upacara sembahyang berangsur menjadi upacara yang lebih khusus, para umat yang berniat untuk melihat 'mesolah' bertahan dalam suasana dingin dan mencekam - karena biasanya Pura Dalem dibangun disekitar kuburan atau setra - tempat membakar mayat.
Disaat yang sama, beberapa pemangku upacara mulai membersihkan area dengan cipratan-cipratan air suci, bunyi gamelan mengiringi sebuah adegan singkat tentang seorang yang ingin menguji kesaktian ilmu kebalnya, rekannya mencoba menahannya supaya tidak sesumbar karena kekuatan yang lebih besar nanti bisa mencelakakannya.
Musik gamelan semakin laun... cuma tinggal bunyi kletuk (gong kecil pengatur tempo) ketika orang yang sesumbar ini berteriak-teriak menantang kekuatan yang lebih besar...... sambil mengacung-acungkan sebilah keris ke arah Pura Dalem yang senyap.

....

....

...

Tiba-tiba dari dalam pura terdengar suara orang berteriak dengan suara yang berat, serak tapi sangat keras. Penonton mulai senyap, hanya masih terdengar bunyi kletuk yang terus bertalu...

tuk!

tuk!

tuk!

semua memandang ke pintu pura, suasana makin mencekam...
Terdengar lagi teriakan yang keras, kali ini lebih panjang.. "Uaaarrrggggghhhhhhhh..... "

Entah sejak kapan berdirinya sosok itu, tiba-tiba sebentuk mahluk yang menyeramkan itu sudah berdiri tegak di pintu pura, berdiri terpaku dengan kedua tangan yang bergetar, satu tangannya memegang erat secarik kain putih, yang bergetar hanya disinari cahaya redup...

Uaaaaarrrggghhhhh..... huuaaahahahaaaa....  hhuuaaahahaahaaaa... , mahluk itu berteriak dan tertawa tawa dengan lantang.. Penonton menyeruak mundur. Sementara orang yang tadi menantangnya nampak semakin bernafsu, kerisnya diacung-acungkan keatas.... Bunyi gamelan mulai mengalun dengan irama yang penuh magis... Pemangku pura dalem, pekandel pura dalem semuanya sibuk mengasapi dan menciprati area dengan air suci... ketika Ratu Ayu mulai menuruni anak tangga dengan gerakan yang pasti dan - tentunya - menyeramkan.
Sampai dipekarangan Pura itu, Ratu Ayu mulai berjingkrak-jingkrak dan menari dengan tangan bergetar, kain putih yang digenggamnya dikibas kibas kesegala arah - konon siapa pun yang terkena kibasan kain putih itu akan ikut kesurupan.
Sebelum Ratu Ayu melangkah lebih jauh, orang yang tadi menari mengacungkan keris langsung menyambutnya dan menusukkan keris yang dibawanya kedada Ratu Ayu yang masih menari... - tempo gamelan semakin kuat menggebyar gebyar.

Uuaahhahahahaaaaaa.... Ratu Ayu malah tertawa, sekali lagi keris ditusukkan... kali ini dengan lebih kuat..
Para pemangku memegangi Ratu Ayu, supaya perlawanannya tidak membabi buta, namun Ratu Ayu semakin berontak, empat orang pemangku memegangi tubuhnya, rambutnya berguncang karena Ratu Ayu berontak semakin kuat..

Upacara Nyolahan ini tidak berlangsung lama, paling lama hanya setengah jam, setelah penari Ratu Ayu itu disadarkan dari kerasukan, entah ada upacara apa lagi didalam Pura Dalem, yang jelas saat itu penonton pun bubar berserabutan, riuh oleh suara dan lampu-lampu motor yang berhamburan meninggalkan kawasan kuburan desa dan Pura Dalem.

Atraksi semacam ini, seperti juga di daerah lain di Pulau Bali saat ini masih dipelihara masyarakat Bali, bahkan kita bisa juga melihat simulasi ritual ini ditempat-tempat khusus, seperti di wilayah Timur, di Ubud, di Sanur banyak juga tempat-tempat yang sengaja menampilkan simulasi upacara yang hanya untuk tujuan pariwisata. Sementara nilai-nilai filsafat dari upacara ini pun sudah diperbanyak dalam brosur perjalanan wisata.

Di Desa Penyaringan, paling tidak ada dua topeng Rangda yang rutin dipertunjukan, dan satu topeng Barong yang selalu ditampilkan. Menjelang Hari raya Nyepi topeng-topeng ini ditampilkan berkeliling desa, ditarikan disetiap persimpangan jalan - saat itu barong dan rangda berkeliling desa dengan truk atau mobil bak terbuka untuk mempersingkat waktu perjalanan. Tujuannya supaya desa terhindar dari ancaman roh jahat, semua spirit negatif dibeberapa tempat - secara simbolik - diserap untuk kemudian dilebur pada hari raya Nyepi.


Senin, 27 Juni 2011

Jegog Mebarung

Sayup sayup suara pukulan musik jegog semakin tidak beraturan, gema suara rendah yang dimainkan bergelombang turun naik menghanyutkan, suara kotekan nada semakin lincah dan riuh menggelora... Ketika kita mulai semakin dekat dengan arena pertunjukan, nampaklah dua kelompok Jegog (musik khas Jembrana) sedang memainkan alat musik bambu itu dengan penuh semangat, semua anggota pemain musik itu nampak sudah bermandi keringat, .. namun tidak ada tanda-tanda untuk mulai melambatkan tempo, bahkan suaranya semakin rancak - cepat dan pendek-pendek. Bila kita simak iramanya, nada yang dipakai pun sepertinya semakin sedikit, berulang-ulang dan nyaris monoton, dan gemuruhnya semakin membuat kita gila...


Suasana pertunjukan atraksi Jegog Mebarung di Penyaringan.

Jegog Mebarung adalah pertunjukan musik yang hampir tidak untuk dinikmati, namun bisa kita serap semangatnya untuk bertarung, sebagaimana namanya, 'mebarung' yang berarti beradu, jadi kedua kelompok musik jegog ini sedang beradu kekuatan mempertahankan nada, mempertahankan emosi, mempertahankan keutuhan peralatan dan - mungkin - mempertahankan kekuatan magis yang dibawa masing-masing grup.

Penonton semakin ramai, keringat para pemain makin bercucuran, beberapa ada yang sudah ganti pemain karena sudah letih, beberapa panggul (alat pemukul gamelan) yang patah berserakan dilantai tanah, dan para pendamping yang membawa pengganti panggul siap disamping masing-masing grup. Namun musik Jegog yang menggelegar semakin cepat seperti berpacu dengan tempo lawannya, saling mencuri nada, menggiring nada dan mempertahankan tempo... wah serunya.

Jembrana memang terkenal sebagai asal muasalnya musik Jegog, konon Jegog ini mulai dikenalkan sejak tahun 1912 oleh Kiyang Geliduh dari Dusun Sebual - Desa Dangin Tukadaya, dan menyebar keseluruh Jembrana sebagai alat musik untuk acara-acara keriaan semacam resepsi pernikahan, penyambutan tamu besar, mengiringi pacuan kerbau (Makepung) bahkan untuk suporter sepakbola - perlu dicatat, Jegog ini sempat dikirim ke stadion di Perancis sewaktu Piala Dunia 1998.

Kini kita mengenal Jegog Mebarung Dua atau Jegog Mebarung Tiga, untuk atraksi atau kompetisi hiburan, jurinya cuma penonton hadiahnya pun hanya penghargaan berupa tepuk tangan. Awalnya kedua grup memainkan lagu/ gending Jegog Teruntungan, sebuah gending Jegog yang merdu dan lembut, menggambarkan keindahan dan pesona alam Bali, setelah itu mulailah mereka bertarung, sedikit demi sedikit satu grup mulai memperkeras pukulannya - mencoba mendominasi nada, kemudian grup lawannya pun ikut mempengaruhi tempo dan tekanan nada, grup yang menang adalah grup yang dominan terdengar oleh penonton, tapi karena masing-masing grup berusaha untuk mendominasi maka nada dan iramanya lama-kelamaan terdengar semakin gencar, dan biasanya satu grup akan berhenti memberi perlawanan bila sudah terdengar ada bambu yang suaranya sudah sember, alias bambunya sudah pecah, atau cadangan panggul sudah habis, lalu penonton atau grup lawannya serta merta menyoraki atau mentertawai grup yang kalah, bahkan kadang ada anggota grup lawan yang sampai menari-nari sambil menabuh gamelan - hal ini kadang memancing emosi lawan yang kalah, kemudian yang kalah pun meninggalkan peralatannya tinggal grup pemenang yang mulai mengalunkan lagu kemenangannya dengan elegan.

Hampir semua banjar di Penyaringan mempunyai grup jegog, dan bila ada acara pernikahan atau tiga bulanan bayi biasanya mereka diundang untuk tampil, kemudian dicarikan lawannya untuk 'mebarung' dari banjar lain atau dari desa lain. Kalau pun tidak untuk mebarung, jegog biasanya dimainkan dengan iringan penari yang biasa disebut 'pengeleb', ini juga seru, terutama bagi para pemuda, mereka siap-siap menunggu ditundik (dicolek) penari jegog yang cantik dan seksi.


Kamis, 23 Juni 2011

Ajik Kacangan

Siapa tidak kenal Ajik Kacangan (bukan nama sebenarnya), di Penyaringan hampir semua orang mengenalnya. Dia ini terkenal sebagai penyedia banten upakara (upacara adat), semua jenis banten (perangkat sesaji dalam upacara adat) bisa disediakan olehnya, mau mengadakan upacara perkawinan, upacara kematian, ngateg linggih (inisiasi tempat sembahyang, spt. pura, merajan/ sanggah, tugu) upacara Nyangluk Merana (mengusir wabah), dan lain sebagainya bisa disediakan. Juga mau kelengkapan yang secukupnya atau mau besar-besaran? dia bisa sediakan, tinggal pesan saja.

Ajik Kacangan mengantar dan menggendong sendiri pesanannya.
Ajik Kacangan, begitu dia biasa dikenal - karena tidak banyak yang tahu nama sebenarnya - namun demikian beliau ini hampir selalu ada disetiap upacara adat hingga dipelosok-pelosok Penyaringan karena layanannya cepat dan lengkap, kadang bila pesanannya mendadak pun dia layani kalau pun ada yang kurang, dia bisa lengkapi dengan menelpon rekanannya atau jika kekurangannya sederhana bisa langsung dia kerjakan saat itu juga.
Keterampilannya patut diakui, orangnya lincah dan supel, pertama kali saya mengenalnya dia sedang menyiapkan banten mecaru (semacan kurban) tiba tiba ayam yang akan dipersembahkan lepas. semua orang sibuk menangkap ayam itu, tapi Ajik Kacangan dengan sigap bisa menangkap ayam itu dan  menyimpan kembali ditempat semestinya. Dalam satu hari dia bisa melayani dua atau tiga perlengkapan (banten) upacara.
Kendaraan Ajik Kacangan pun sangat khas, mobil buntung dengan boks terpal hitam sering nampak mondar-mandir dijalanan desa Penyaringan, mengantar pesanan dari satu tempat ke tempat lainnya dengan kecepatan tinggi - tidak peduli jalanan ramai atau sepi, jalanan mulus atau rusak berat.

Itulah gambaran singkat tentang dia. Dia memberi banyak kemudahan dalam melengkapi jalannya upacara adat Bali di Penyaringan. Berkurangnya orang - biasanya ibu-ibu atau remaja puteri - yang bisa menjanur untuk membuat kelengkapan sembahyang dan upakara menjadikan usahanya maju pesat, saingannya memang ada, tapi Ajik ini punya kelebihan bisa mengantisipasi kelemahan pesaingnya, umumnya pesaing mengandalkan transportasi dari si pemesan, sementara Ajik siap dengan kendaraannya, bahkan didalam mobil boksnya dia menyiapkan juga alat dan bahan untuk melengkapi kekurangan atau pesanan tambahan yang mendadak. Kelemahan pesaing lainnya adalah pengetahuan kelengkapan banten, lengkap dengan nama, fungsi dan istilah-istilahnya, Ajik ini kadang bisa juga memprediksi jalannya upakara dan memperkirakan sendiri kelengkapan yang diperlukan - harga tetap sesuai harga paket - kok jadi seperti promosi, ya?

Saat ini Ajik sudah tidak lagi menggunakan mobil buntungnya, dia sekarang sudah memakai APV, mobil yang lebih nyaman dan besar, mungkin mobil boksnya dipakai oleh asistennya untuk mengambil  bahan-bahan baku pesanan lain atau mengantar pesanan ketempat lainnya. Selain itu Ajik melihat peluang lain, untuk acara menjemput penganten, APV-nya ini bisa dipakai juga sebagai kendaraan antar jemput pedanda, mempelai atau keluarga mempelai - mungkin kena tambahan biaya rental mobil.
Perluasan usaha masih tetap berlanjut, setelah rental kendaraan dalam paket lamaran, terakhir beliau juga merambah ke usaha kompor mayat, yaitu kompor untuk membakar mayat di upacara ngaben, kompor dan supir (kompor) nya masih baru, wah, jadi semacam 'one stop shoping' perlengkapan upacara adat... - tinggal mewinten jadi pedanda (pendeta Hindu) saja, lengkaplah semuanya...




Selasa, 21 Juni 2011

Awas Pecalang

Mungkin kehadiran Pecalang belum terlalu lama ada di Penyaringan, paling tidak pecalang konon mulai ada sejak reformasi dimulai sekitar tahun 1998, ada juga yang bilang kalau Pecalang itu mulai populer sebagai satgas sewaktu PDI-P mengadakan kongres di Bali tahun 1999, namun ada juga yang bilang kalau Pecalang itu merupakan warisan kebudayaan Bali - dijaman kerajaan - yang baru digali kembali dan mulai diseragamkan diseluruh Bali dengan seragam yang khas yaitu rompi hitam, sarung poleng (kotak-kotak tiga warna; hitam - putih dan merah) dan sebilah keris dipinggangnya. Tapi pada masa kerajaan dulu istilah mereka adalah sikep, dolop atau sambangan. Kalaupun ada istilah Pecalang, yang diingat oleh para janda adalah kejadian pembantaian di tahun 1965 dimana pecalang merupakan eksekutor sipil waktu itu.
Dengan sejarah Pecalang yang mengerikan, dan tugas tugas mereka menjaga kelancaran kegiatan adat, sosok para pecalang menjadi sangat ditakuti. Taring mereka sangat mencolok ketika hari raya Nyepi, setelah menjaga pawai ogoh-ogoh, mereka menjaga jalanan desa dan disetiap persimpangan jalan agar tidak ada warga yang keluar rumah dan lalu lalang dijalanan atau menyalakan lampu dimalam hari. Pada saat hari raya Nyepi, khusus bagi para pecalang merupakan kesempatan untuk menunjukan identitas mereka dan 'wilayah kekuasaan' masing-masing.
Mereka merupakan penjaga desa Adat yang berkoordinasi dengan pemimpin Adat didesa masing masing yang biasa disebut Bendesa - pemimpin  adat di desa Pekraman (pengganti kata 'Adat' yg berasal dari bahasa asing) yang kedudukannya sejajar dengan pemimpin Desa - yang bertugas sebagai petugas pengamanan kegiatan adat, seperti upacara di pura desa, hari raya Nyepi, pawai ogoh-ogoh, pemilihan ketua adat, upacara perkawinan, dll.
Mereka yang dipilih menjadi Pecalang biasanya adalah orang2 yang banyak punya waktu luang, pensiunan tentara atau polisi, atau mereka yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Mereka sering nampak berjaga-jaga dengan seragam lengkap pada setiap acara adat, meskipun umumnya menjaga jalur pawai wadah (usungan jenasah pada upacara ngaben), pertemuan pemimpin adat, bahkan pengamanan pertandingan voli antar desa yang sering diadakan di desa Penyaringan.
Apa yang mereka jaga? sampai saat ini keberadaan (fungsi) mereka tidak terlalu jelas, dalam upacara adat cuma tempat tempat yang dilalui jalan umum dijaga, supaya tidak diganggu arus lalu lintas, sewaktu ramai pertandingan voli - mereka sibuk menjaga gerbang masuk dan lahan parkir, sewaktu ramai pencurian kayu diutara desa Penyaringan mereka bergantian menjaga batas hutan - tapi satu persatu mundur karena ongkos jaga yang kurang dan jadual piket yang tidak jelas. Begitu pun bila ada upacara di pura desa, mereka pun nampak lebih sibuk menjaga parkiran, kok jadi tukang parkir?

Dalam Perda Bali no 3, 2001 mereka disahkan oleh Desa pekraman sebagai penjaga keamanan desa, tugas dan wewenang mereka dalam urusan adat dan agama, dan mereka diangkat dan diberhentikan oleh paruman desa atau musyawarah desa.

Giatnya pemerintah Bali dalam rangka 'Balinisasi' dan menarik wisatawan asing juga tidak kecil pengaruhnya dalam memunculkan pecalang di desa-desa seluruh Bali, banyak wisatawan yang tertarik dengan penjagaan tradisional yang lengkap menyelipkan keris -senjata tradisional, daripada melihat tentara yang menggendong M-16 atau polisi dengan motor besar yang mengamankan jalannya upacara adat.