Senin, 27 Juni 2011

Jegog Mebarung

Sayup sayup suara pukulan musik jegog semakin tidak beraturan, gema suara rendah yang dimainkan bergelombang turun naik menghanyutkan, suara kotekan nada semakin lincah dan riuh menggelora... Ketika kita mulai semakin dekat dengan arena pertunjukan, nampaklah dua kelompok Jegog (musik khas Jembrana) sedang memainkan alat musik bambu itu dengan penuh semangat, semua anggota pemain musik itu nampak sudah bermandi keringat, .. namun tidak ada tanda-tanda untuk mulai melambatkan tempo, bahkan suaranya semakin rancak - cepat dan pendek-pendek. Bila kita simak iramanya, nada yang dipakai pun sepertinya semakin sedikit, berulang-ulang dan nyaris monoton, dan gemuruhnya semakin membuat kita gila...


Suasana pertunjukan atraksi Jegog Mebarung di Penyaringan.

Jegog Mebarung adalah pertunjukan musik yang hampir tidak untuk dinikmati, namun bisa kita serap semangatnya untuk bertarung, sebagaimana namanya, 'mebarung' yang berarti beradu, jadi kedua kelompok musik jegog ini sedang beradu kekuatan mempertahankan nada, mempertahankan emosi, mempertahankan keutuhan peralatan dan - mungkin - mempertahankan kekuatan magis yang dibawa masing-masing grup.

Penonton semakin ramai, keringat para pemain makin bercucuran, beberapa ada yang sudah ganti pemain karena sudah letih, beberapa panggul (alat pemukul gamelan) yang patah berserakan dilantai tanah, dan para pendamping yang membawa pengganti panggul siap disamping masing-masing grup. Namun musik Jegog yang menggelegar semakin cepat seperti berpacu dengan tempo lawannya, saling mencuri nada, menggiring nada dan mempertahankan tempo... wah serunya.

Jembrana memang terkenal sebagai asal muasalnya musik Jegog, konon Jegog ini mulai dikenalkan sejak tahun 1912 oleh Kiyang Geliduh dari Dusun Sebual - Desa Dangin Tukadaya, dan menyebar keseluruh Jembrana sebagai alat musik untuk acara-acara keriaan semacam resepsi pernikahan, penyambutan tamu besar, mengiringi pacuan kerbau (Makepung) bahkan untuk suporter sepakbola - perlu dicatat, Jegog ini sempat dikirim ke stadion di Perancis sewaktu Piala Dunia 1998.

Kini kita mengenal Jegog Mebarung Dua atau Jegog Mebarung Tiga, untuk atraksi atau kompetisi hiburan, jurinya cuma penonton hadiahnya pun hanya penghargaan berupa tepuk tangan. Awalnya kedua grup memainkan lagu/ gending Jegog Teruntungan, sebuah gending Jegog yang merdu dan lembut, menggambarkan keindahan dan pesona alam Bali, setelah itu mulailah mereka bertarung, sedikit demi sedikit satu grup mulai memperkeras pukulannya - mencoba mendominasi nada, kemudian grup lawannya pun ikut mempengaruhi tempo dan tekanan nada, grup yang menang adalah grup yang dominan terdengar oleh penonton, tapi karena masing-masing grup berusaha untuk mendominasi maka nada dan iramanya lama-kelamaan terdengar semakin gencar, dan biasanya satu grup akan berhenti memberi perlawanan bila sudah terdengar ada bambu yang suaranya sudah sember, alias bambunya sudah pecah, atau cadangan panggul sudah habis, lalu penonton atau grup lawannya serta merta menyoraki atau mentertawai grup yang kalah, bahkan kadang ada anggota grup lawan yang sampai menari-nari sambil menabuh gamelan - hal ini kadang memancing emosi lawan yang kalah, kemudian yang kalah pun meninggalkan peralatannya tinggal grup pemenang yang mulai mengalunkan lagu kemenangannya dengan elegan.

Hampir semua banjar di Penyaringan mempunyai grup jegog, dan bila ada acara pernikahan atau tiga bulanan bayi biasanya mereka diundang untuk tampil, kemudian dicarikan lawannya untuk 'mebarung' dari banjar lain atau dari desa lain. Kalau pun tidak untuk mebarung, jegog biasanya dimainkan dengan iringan penari yang biasa disebut 'pengeleb', ini juga seru, terutama bagi para pemuda, mereka siap-siap menunggu ditundik (dicolek) penari jegog yang cantik dan seksi.


1 komentar:

  1. seru... apalagi sudah pernah dipakai untuk memeriahkan Piala Dunia di Perancis 1998. Kalau Indonesia jadi tuan rumah Piala Dunia --entah kapan-- pasti Jegog ikut tampil ya...

    BalasHapus