Rabu, 08 Juni 2011

Subak, Tradisi Yang Masih Dipertahankan di Penyaringan

Bali juga terkenal dengan tradisi pembagian airnya yang dikenal dengan sistem Subak, sistem ini sangat terkenal hingga banyak ahli-ahli pertanian yang sengaja melakukan penelitian dan studi banding ke Bali untuk sekedar melihat atau mempelajari langsung bagaimana sebuah sistem pengairan yang baik ini dapat dipertahankan disini.
Memang harus diakui, pertanian di Bali bisa berkembang hingga dapat membagi air ke lahan-lahan yang dinilai sulit mendapatkan air untuk menanam padi. 
Penyaringan, yang disebut sebagai lumbung padi Bali - hingga saat ini masih mempertahankan tradisi Subak, Desa Penyaringan mempunyai 4 (empat) sekehe (perkumpulan) Subak yakni Subak Penyaringan, Subak Tibubeleng, Subak Jagaraga dan Subak Tembles, di lahan yang begitu beragam, berbukit dan mendatar dengan sumber air yang makin terbatas organisasi ini  mampu membagi air untuk mengairi seluruh lahan pertaniannya seluas 415 Hektar.
Menjelang musim tanam, setiap Kajeng (satuan hari di kalender Bali) anggota subak berkumpul untuk membersihkan setiap jalur air, mulai jalur utama, hingga jalur-jalur sekunder dan yang langsung mengairi petak-petak sawah diperiksa, diperbaiki dan disempurnakan. Setiap hari para juru air berkeliling mengawasi pembagian lahan, karena selain memeriksa aliran air, kalau-kalau ada jalur yang rusak karena longsor atau dirusak ternak, atau kadang kadang masih ada saja petani yang nakal mencuri aliran air yang bukan bagiannya.
Berkurangnya sumber air dan berkurangnya lahan pertanian tidak mengurangi semangat mereka untuk mempertahankan tradisi Subak. Namun dari sekian puluh - bahkan ratusan - hektar lahan yang masih ada, para pengayah subak makin sedikit saja jumlahnya, itu pun hanya mereka yang benar-benar tidak punya keahlian dan kegiatan lain selain bertani, selebihnya lebih memilih membayar uang ayahan. 

Sayang, belakangan lahan pertanian di Bali semakin berkurang, lahan hijau yang seharusnya berisi tanaman padi, disekitar jalan provinsi antara Gilimanuk menuju Denpasar saat ini sudah hampir dipenuhi perumahan, industri, bengkel, hotel, pertokoan dan perumahan pribadi. Jika ini terus berlangsung, maka bukan tidak mungkin organisasi subak pun akan lenyap. Seperti Subak di Denpasar yang sudah tinggal cerita, contohnya di daerah Panjer (Jl. Waturenggong), seorang (mantan) petani menunjuk sebuah rumah kos-kosan, katanya dulu disana berdiri sebuah Bale Subak yang banyak anggotanya, tapi sekarang lahan pertaniannya sudah habis dan berubah menjadi banyak perumahan, pertokoan, bengkel dan tempat kos-kosan..

1 komentar:

  1. ironis ya. sementara di luar Bali, Subak begitu diagungkan sebagai warisan budaya lokal yang mumpuni, di Bali sendiri justru mulai ditinggalkan...

    BalasHapus