Rabu, 08 Juni 2011

Portugal (Persatuan Orang Tua Gaul)

Kita sudah sering mendengar tentang kesenangan negatif orang-orang Bali, kalimat "Kaum ibu sibuk bekerja jadi kuli menggali pasir, atau membuat jalan raya, sementara kaum bapak sibuk metajen (mengadu ayam)" ingin saya sangkal, karena tidak sepenuhnya benar, kaum lelaki Bali banyak juga yang rajin bekerja, dan kaum ibu pun tidak sedikit yang tidak pernah absen main ceki (kartu cina).
Membicarakan sisi negatif sangatlah menyenangkan, bukankah ada istilah "Bad News is Good News"?, jadi saya disini sudah sangat gatal untuk menuliskan sisi yang menarik ini.
Portugal adalah sebuah perkumpulan di desa Penyaringan yang terdiri dari para kaum bapak yang sangat (suka ber-) gaul. Apa saja kegiatannya? bila mereka berkumpul, ternyata kaum bapak sama saja dengan kaum ibu, suka ngerumpi, bergunjing, sambil berkelakar plesetan dan saling menjahili satu sama lainnya. Mereka sangat akrab karena selain mereka semua mempunyai hubungan keluarga, mereka pun umumnya sudah berteman sejak mereka masih kecil-kecil, jadi antara satu dengan yang lain hampir tidak ada batasannya, bahkan dengan paman atau keponakan yang kadang-kadang umurnya lebih muda atau sepantar pun berbaur.
Kegembiraan mereka tentulah semakin lama semakin perlu variasi, variasi yang sekarang kita jumpai adalah minum-minum - arak sangat mudah dan murah untuk diperoleh, meracik minuman itu sudah menjadi keahlian umum, cuma gilirannya sering diserahkan pada yang paling muda dan yang paling suka membuat masalah.
Kegiatan lainnya, adalah main kartu, ada kartu remi, kartu ceki kartu domino semua permainan kartu ini pun umum dikuasai oleh mereka yang ingin bergaul, dan supaya permainannya menarik biasanya mereka memakai uang taruhan jadi pergaulan mereka seperti semacam klub judi - tapi mana mungkin mereka mau dibilang penjudi.
Keisengan-keisengan yang menambah keakraban dilingkungan ini lebih bervariasi, kadang-kadang mereka mengolah anjing yang dianggap sudah tidak berguna di lingkungannya atau anjing dari lingkungan lain yang 'nyasar' kelingkungan mereka - atau ya kalau keinginan 'mengolah' sudah sampai ke ubun-ubun atau tidak dapat ditahan lagi, maka mereka mencari anjing dari lingkungan lain, dengan atau tanpa seijin pemilik anjing.

Kalau semua keisengan ini kita anggap negatif, bagi mereka ini adalah sebuah sarana untuk pergaulan, karena fasilitas yang tidak memadai, mau main bola nggak kuat lari, paling-paling main voli, tapi malam hari apa yang bisa dilakukan? sementara mereka umumnya bekerja hingga jam 5 sore, acara di tivi dipenuhi berita-berita negatif, sinetron dan program-program yang hampir semuanya tentang masyarakat muslim - sementara nanggap wayang mahal, lebih baik nanggap Wayan yang sudah pasti kocak dan murah...


Sayangnya, para orangtua ini sering tidak menyadari bahwa anak-anak mereka yang sedang beranjak dewasa meniru tingkah mereka, dan keisengan ini lambat laun diwariskan kegenerasi-generasi seterusnya...

2 komentar:

  1. endingnya kok pesimistis? kalau memang kebiasaan bergaul itu positif untuk merekatkan hubungan sosial, kenapa khawatir kebiasaan ini menurun pada generasi yg lebih muda?

    BalasHapus
  2. iya ya? endingnya jadi pesimis karena ada kasus, sewaktu PemKab Jembrana mengirim para perwakilan LMD (Lembaga Musyawarah Desa)ke Malang, 5 orang perwakilan tertangkap basah main judi (ceki) di penginapan mereka, salah satunya dari Penyaringan. PemKab dan Kades Penyaringan membayar tebusan sebesar 25 juta dan hingga sekarang keluarganya mencicil pinjaman uang tebusan itu. "Ini kan warisan budaya, kami main kartu dengan perwakilan dari desa-desa lain untuk menghilangkan kejenuhan dan supaya lebih akrab" kata perwakilan dari Desa Penyaringan itu. Bangga atau memalukan? saya juga bingung...

    BalasHapus