Selasa, 07 Juni 2011

Upacara Keagamaan di Desa

Seperti kita ketahui, mayoritas penduduk Bali beragama Hindu, sehingga kita mengenal pula istilah (Agama) Hindu-Bali. Masyarakat Bali sangat taat dalam menjalankan ibadah keagamaan, dalam satu bulan saja minimal satu kali mereka mengadakan upacara keagamaan yaitu pada saat bulan purnama - yaitu bertepatan saat bulan bulat penuh. 
Suasana bubaran persembahyangan disebuah Pura
Selain itu ada juga upacara Odalan Pura, yang diadakan setiap 6 bulan (hitungan satu tahun Bali), belum lagi saat hari besar, seperti Galungan, Kuningan, menjelang Nyepi, Saraswati, Pagerwesi, Tumpek Landep, dan lain-lain - dan lain2nya ini lumayan banyak juga, karena masyarakat Hindu-Bali memiliki banyak 'penunggu' - yaitu semacam tugu yang dibangun di setiap petak tanah, misalnya di rumah, di pekarangan, di kebun, di sawah, yang masing-masing mempunyai semacam hari jadi yang berarti harus juga di upacarai, meskipun tidak harus besar-besaran.
Upacara keagamaan dan upacara adat di Bali hampir tidak bisa dibedakan, sehingga banyak yang menganggap agama Hindu adalah agama yang rumit dan kompleks, banyak upacara ini dan itu, karena selain mengupacarai Pura, tugu dan hari raya mereka juga mengupacarai pernikahan, kelahiran anak, kematian, 3 bulanan bayi, wabah, musibah, kendaraan, peralatan/ perkakas, dan mungkin masih banyak lagi.
Ketaatan masyarakat Hindu-Bali (istilah Hindu-Bali saya pakai disini karena nyaris berbaurnya antara agama dan adat) seringkali membuat orang yang geleng-geleng kepala, terutama mereka yang menjadi pimpinan kantor atau perusahaan, karena hampir selalu ada karyawan atau pegawai yang minta ijin untuk mengadakan atau mengikuti atau menghadiri undangan dalam upacara adat atau keagamaan. Juga bagi mereka yang mempunyai proyek, dan memperkerjakan orang-orang Bali - sebut saja sedang membangun rumah - kita harus memperhitungkan berapa kali akan bertemu dengan hari-hari besar (baca:berhalangan) ini, bila tidak, rencana/ skedul kerja kita akan meleset dari perkiraan semula. Sayang sekali, terutama bila biaya produksinya dihitung perhari.
Kebijakan pemerintah daerah untuk mengusung cita-cita Ajeg Bali - yang mempertahankan nilai nilai luhur adat istiadat khas Bali - termasuk upacara adat dan upacara keagamaan yang sangat rumit dan mahal pun sampai ke desa desa di Bali, termasuk di Penyaringan. Mereka yang merantau diluar daerah pun disempatkan untuk pulang meskipun hanya beberapa jam saja untuk menghadiri sebuah upacara.
Upacara dan Ajeg Bali, semoga dilaksanakan dengan pengertian dari dalam hati di diri setiap umatnya, bukan cuma untuk melaksanakan tanpa tahu artinya, bukan cuma untuk menunjukkan kemampuan membiayai sebuah upacara, bukan cuma untuk melaksanakan anjuran pemerintah, apalagi cuma untuk menarik wisatawan luar.



1 komentar:

  1. sepanjang semua upacara itu dilaksanakan dengan penghayatan dan dharma, serta tidak memaksa/memberatkan, mudah2an tidak ada yang keberatan. perangkat norma dan nilai sosial kan hanya bisa efektif kalau ada konsensus di masyarakat untuk menghayati dan menerapkannya... kalau memang masyarakat mulai keberatan, tentu akan muncul gerakan/upaya sosial untuk merevisi/memodifikasi nilai-nilai adat itu...IMHO

    BalasHapus